PEMBANGUNAN HUKUM PERDATA MELALUI YURISPRUDENSI Oleh: Wigati Pujiningrum, S.H., M.H. (Hakim Yustisial/Asisten Hakim Agung pada Kamar Perdata)

Hukum dalam pembangunan mempunyai 4 fungsi yaitu hukum sebagai pemeliharaan ketertiban dan keamanan, sebagaimana Sunaryati Hartono mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Roscoe Pound dalam bukunya yang terkenal: An Introduction to the Philosophy of Law, yang menyatakan: “The first and simplest idea is that law exists in order to keep the peace in a given society, to keep the peace at all events and at any price. This is the conception of what may be called the stage of primitive law. Hukum juga sebagai sarana pembangunan, hukum sebagai sarana penegak keadilan dan hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.

Hukum, institusi hukum dan sarjana hukum, memainkan peranan yang sangat penting untuk membawa perubahan kepada sistem norma-norma dan nilai-nilai baru dalam tiap tahap pembangunan. Agenda pemerintah saat ini adalah berupaya semaksimal mungkin untuk dapat memulihkan kondisi perekonomian secara bertahap dan berkesinambungan serta keluar dari keadaan yang sangat tidak menentu seperti saat sekarang ini.

 Hukum muncul karena manusia hidup bermasyarakat. Hukum mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan juga mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban itu. Hukum perdata yang mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat disebut “hukum perdata material”, sedangkan hukum perdata yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hak dan kewajiban disebut “hukum perdata formal”. Hukum perdata formal lazim disebut hukum acara perdata.[1]

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, manusia adalah sentral. Manusia adalah penggerak kehidupan masyarakat karena manusia itu adalah pendukung hak dan kewajiban. Dengan demikian, hukum perdata materiel pertama kali menentukan dan mengatur siapakah yang dimaksud dengan orang sebagai pendukung hak dan kewajiban itu.

Keadaan hukum perdata di Indonesia dari dahulu sampai dengan sekarang tidak ada keseragaman (pluralisme). Setelah bangsa Indonesia merdeka dan sampai saat ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dikodifikasi tahun 1848 masih tetap dinyatakan berlaku di Indonesia. Adapun dasar hukum berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut adalah Pasal 1 Aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selengkapnya berbunyi “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”, selain itu, hukum tertulis (undang-undang) tidak pernah lengkap, jelas dan tuntas mengatur kehidupan masyarakat,[2] sehingga seringkali tertinggal di belakang perkembangan masyarakat, untuk itu undang-undang tersebut perlu selalu dikembangkan agar tetap aktual dan sesuai dengan jaman (up to date).

Untuk mengatasi kekurangan hukum tertulis tersebut, perlu mensiasati agar hal tersebut tidak terlalu tampak ke permukaan sehingga menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat. Peranan kekuasaan yudisial sangat dibutuhkan dalam hal mengurangi dampak-dampak buruk atas kekurangan dari Peraturan Perundang-Undangan. Hakim bukan sebagai corong dari peraturan perundang-undangan, namun hakim mampu menggali nilai-nilai keadilan di masyarakat, sehingga diharapkan apabila peraturan perundang-undangan tidak mampu memenuhi rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat maka peran hakim adalah mengembalikan rasa keadilan tersebut.  Hal tersebut sejalan dengan mandat dari Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim yang baik adalah hakim yang dapat mewujudkan rasa keadilan di tengah masyarakat walaupun tidak terdapat peraturan perundangan yang memadai. Namun prinsip sebagaimana disebut pada pasal 5 Undang-Undang Kehakiman sering disalahgunakan dengan mengubah tatanan hukum yang ada sehingga akibatnya kepastian hukum sangat susah untuk diperoleh.

Pelaksanaan dan perkembangan peraturan perundang-undangan terjadi melalui peradilan dengan putusan hakim. Apabila dikaitkan dengan pendapat Soetandyo Wignjosoebroto, maka pembaruan hukum melalui putusan hakim termasuk dalam kategori pembaruan hukum dalam arti  law reform. Pembaruan substansi hukum dalam konteks ini, khususnya hukum tidak tertulis, dilakukan melalui mekanisme penemuan hukum sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang  Kekuasaan  Kehakiman, yang memberikan kewenangan kepada hakim dan hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat terhadap permasalahan atau persoalan yang belum diatur, dalam arti belum ada pengaturannya dalam hukum tertulis atau dalam hal ditemui perumusan peraturan yang kurang jelas dalam hukum tertulis.[3]

Dalam salah satu penelitian hukum tentang peningkatan yurisprudensi sebagai sumber hukum yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional tahun 1991/1992 telah dikumpulkan beberapa definisi yurisprudensi, yaitu antara lain:

  1. Yurisprudensi, yaitu peradilan yang tetap atau hukum peradilan (Poernadi Poerbatjaraka dan Soerjono Soekanto);
  2. Yurisprudensi adalah ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh pengadilan (kamus Fockema Andrea);
  3. Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberi keputusan dalam soal yang sama (Kamus Fockema Andrea);
  4. Yurisprudensi diartikan sebagai rechtsgeleerheid rechtsspraak, rechtsopvatting gehudligde door de (hoogste) rechtscolleges, rechtslichamen blijklende uitgenomende beslisstingen (kamus koenen endepols);
  5. Yurisprudensi diartikan sebagai rechtsopvatting van de rechterlijke macht, blijkende uitgenomen beslisstingen toegepasrecht de jurisprudentie van de Hoge Raad (kamus van Dale);

Menurut R Soebekti, yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan-putusan Mahkamah Agung sendiri yang tetap.

Yurisprudensi mempunyai peranan dan sumbangan yang besar dalam pembangunan hukum nasional. Oleh karena itu, untuk mendukung Pembangunan Sistem Hukum Nasional yang dicita-citakan dan untuk (1) melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, (2) mengisi kekosongan hukum, (3) memberikan kepastian hukum; dan (4) mengatasi  stagnasi  pemerintahan  dalam keadaan  tertentu  guna kemanfaatan dan kepentingan umum,[4] hakim mempunyai kewajiban untuk membentuk yurisprudensi terhadap masalah-masalah yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan atau telah diatur dalam peraturan perundang-undangan namun tidak lengkap atau tidak jelas, atau ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut memberikan suatu pilihan dan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.[5] Yurisprudensi itu dimaksudkan sebagai pengembangan hukum itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan hukum pencari keadilan. Konkritnya, melalui yurisprudensi tugas hakim menjadi faktor pengisi kekosongan hukum manakala undang-undang tidak mengatur atau telah ketinggalan jaman.[6]

Walaupun sistem penegakan hukum tidak didasarkan pada sistem precedent, tetapi hakim peradilan umum atau pengadilan tingkat lebih rendah berkewajiban untuk secara sungguh-sungguh mengikuti putusan Mahkamah Agung. Selain itu, para hakim wajib memberikan pertimbangan hukum yang baik dan benar dalam pertimbangan hukum putusannya, baik dari segi ilmu hukum, maupun dari segi yurisprudensi dengan mempertimbangkan putusan hakim yang lebih tinggi dan/atau putusan hakim sebelumnya. Dan apabila hakim ingin menyimpang dari yurisprudensi, maka hakim yang bersangkutan wajib memberi alasan dan pertimbangan hukum adanya perbedaan dalam fakta-fakta dalam perkara yang dihadapinya dibanding dengan fakta-fakta  dalam perkara-perkara sebelumnya.

Pada tataran teoritis, untuk dapat dilakukan upaya Pembangunan Hukum Perdata Indonesia melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung, perlu dilakukan inventarisasi putusan pengadilan yang memenuhi unsur yurisprudensi yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh Mahkamah Agung, Pengadilan-pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tingkat Pertama, sehingga kepastian hukum dan usaha unifikasi hukum dapat terselenggara pula melalui badan-badan peradilan.

Putusan-putusan tersebut dijadikan yurisprudensi jika memenuhi sejumlah unsur. Pertama, putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturannya dalam undang-undang. Kedua, putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketiga, telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus suatu perkara yang sama. Keempat, putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan. Kelima, putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Kelayakan suatu yurisprudensi dapat menjamin adanya nilai kemanfaatan adalah putusan mengandung nilai terobosan dan putusan diikuti oleh hakim secara konstan sehingga menjadi yurisprudensi tetap yang memaksimalkan kepastian hukum. Apabila mengenai suatu persoalan sudah ada suatu yurisprudensi tetap, maka dianggap bahwa yurisprudensi itu telah melahirkan suatu peraturan hukum yang melengkapi undang-undang.Pemantapan asas-asas hukum pertama-tama bisa dilakukan dalam usaha pembentukan hukum nasional melalui proses perundang-undangan (legislation). Tetapi pada tahap penerapannya, asas-asas itu dimantapkan melalui yurisprudensi.

Yurisprudensi merupakan kebutuhan yang fundamental untuk melengkapi berbagai peraturan perundang-undangan dalam penerapan hukum karena dalam sistem hukun nasional memegang peranan sebagai sumber hukum. Tanpa yurisprudensi, fungsi dan kewenangan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman akan dapat menyebabkan kemandulan dan stagnan. Yurisprudensi bertujuan agar undang-undang tetap aktual dan berlaku secara efektif, bahkan dapat meningkatkan wibawa badan-badan peradilan karena mampu memelihara kepastian hukum, keadilan sosial, dan pengayoman.

 


[1] Soetandyo Wignjosoebroto, Pembaruan Hukum Masyarakat Indonesia Baru, Forum Keadilan No. 08 (18 Juni 2006), hal. 46-47, lihat juga Soetandyo Wignjosoebroto dalam Donny Donardono, Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ford Foundation & HuMa, 2007, hal. 94.

[2] J.L.J Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993, hal. 112

[3] Hasan Wargakusumah, Peningkatan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, dalam Penyajian Hasil Penelitian Tentang Peranan Hukum Kebiasaan Dalam Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992, hal. 64.

[4] Pasal 22 ayat 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan

[5] Pasal 23 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan

[6] Paulus Effendi Lotulung, Penulisan Karya Ilmiah Tentang Peranan Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1997, hal. 24